MANONJAYA, RADSIK – Yayasan KH Ece Pachrudin menyelenggarakan Festival Budaya Pangan Kearipan Lokal untuk mengenalkan kadedemes atau oseng kulit singkong untuk olah sampah makanan di Babancong Majakerti Lapang Desa Margaluyu Kecamatan Manonjaya, Sabtu (19/11/2022).
Kegiatan yang terselenggara ini hasil dari bantuan Stimulan Ekspresi Budaya Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Dirjen Kemendikbudristek) dan didukung oleh Dewan Pemajuan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya (DPKKT). Festival ini dihadiri oleh kepala Desa Margaluyu, Muspika Kecamatan Manonjaya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya, para tokoh masyarakat dan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Provinsi Jabar.
Ketua DPKKT Aan Supriatna mengungkapkan, tujuan kegiatan ini guna memajukan kebudayaan yang ada, khususnya kebudayaan pangan olahan makanan yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. “Dalam hal ini, kami dari DPKKT mendukung sekaligus mengapresiasi untuk pemajuan kebudayaan di tingkat Kabupaten Tasikmalaya,” ujar Aan saat diwawancara di lokasi kegiatan.
Baca Juga:Plaza Asia Wadahi Talenta MudaTiga Hari Hujan, Empat Bangunan Tertimpa Longsor
[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]
Aan menyebutkan, Kemendikbudristek menyerahkan bantuan untuk para pemaju kebudayaan. Di tahun 2022 ini fokus ke kebudayaan sandang, pangan dan papan. Kegiatan ini sesuai dengan tema yang diambil, berupa budaya pangan kearipan lokal. Dikarenakan oseng kadedemes memiliki nilai sejarah, khususnya kalau zaman dulu sebelum menikah itu tidak sah, jika belum makan kadedemes atau oseng kulit singkong.
Kata Aan, ini kebanyakan khusus untuk wilayah Priangan Timur. Di antaranya seperti, orang Sumedang, Garut, Tasik, dan sebagainya, biasanya mengenal oseng kadedemes. “Hanya saja, dari tahun 80 an ke sini anak-anak sudah tidak mengenal lagi apa yang disebut oseng kadedemes,” ucpanya.
Aan menyebutkan, sebanyak 72 peserta ikut serta dalam memeriahkan festival budaya pangan kearifan lokal ini dan dibagi menjadi 24 kelompok. “Mereka (peserta) yang ikut lomba ini hanya ibu-ibu saja. Mereka membawa alat masak sendiri dan diberi waktu selama 25 menit untuk memasak olahan oseng kadedemes tersebut,” ucap dia, menjelaskan.
Lanjut dia, untuk menghasilkan cita rasa yang beragam dibebaskan tergantung peserta mau menggunakan bumbu yang seperti apa. Jadi peserta menampilkan kreativitas dan berkreasi dengan gaya masing-masing dan tidak mengurangi nilai estetika sejarah kadedemes itu sendiri.