TASIK, RADARTASIK.ID – Pengelolaan keuangan Pemkab Tasik berantakan dari tahun ke tahun dan belum mengalami perbaikan signifikan. Setiap tahun anggaran, instansi pemeriksa administrasi keuangan rutin menemukan tata kelola yang bermasalah mulai dari kesalahan penganggaran belanja, sampai dengan pengembalian dana atas kegiatan ke kas negara.
Sebanyak 34 temuan, dengan 82 rekomendasi disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Jawa Barat. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas pengelolaan Keuangan Pemkab Tasikmalaya Tahun Anggaran 2021.
Sebanyak 12 rekomendasi di antaranya sudah sesuai dan ditindaklanjuti. Sementara 21 belum selesai dan 49 di antaranya belum ditindaklanjuti.
Baca Juga:Parkir Langganan 20 Ribu Setahun, Pemkab Ciamis Berlakukan Perda No 7 Tahun 2022Antre Bantuan, Lansia Pingsan
”Hasil review dari LHP BPK, mulai dari penyusunan laporan keuangan, pendapatan sampai dengan belanja pemkab tahun lalu menyisakan sejumlah catatan penting yang harus menjadi perhatian. Menunjukkan tata kelola keuangan negara di sana masih berantakan,” kata Pengajar Sekolah Politik Anggaran (Sepola) Perkumpulan Inisiatif Bandung Nandang Suherman, Selasa (1/11/2022).
Pada penyusunan laporan keuangan, BPK menyoroti pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang belum sepenuhnya dilakukan secara tertib. Kemudian adanya kesalahan penganggaran belanja modal pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud).
Dari sisi pendapatan pun, BPK menemukan persoalan. Pertama adanya Hasil Pemungutan PBB-P2 tidak disetorkan tepat waktu dan digunakan untuk kepentingan tertentu sebesar Rp 106.961.823.
Kemudian pemkab juga tidak memungut retribusi pengendalian menara telekomunikasi pada tahun yang sama, dengan minimal pendapatan sebesar Rp 881.365.600.
”Tidak hanya itu, potensi pendapatan dari Pengelolaan Retribusi Pelayanan Pasar pada Dinas KUKM Perindag pun kurang memadai serta tidak disetorkan ke kas daerah dengan minimal sebesar Rp 37.185.500,” kata Nandang.
Kepala Departemen Tatakelola Urusan Publik (TAKE UP) Perkumpulan Inisiatif Bandung itu menjelaskan, BPK tak luput menemukan sejumlah persoalan krusial pada pembelanjaan anggaran daerah. Mulai dari penggajian, tunjangan dan tambahan penghasilan pegawai kepada pegawai yang telah pensiun sebesar Rp 15 juta.
Disusul volume atas tujuh paket pekerjaan belanja modal gedung dan bangunan pada tiga OPD kurang dari yang ditetapkan dalam kontrak, yakni Rp 792 juta, kesalahan penggunaan harga satuan sebesar Rp 10 juta serta denda keterlambatan belum disetorkan sebesar Rp 288 juta.