Suryadi anak petani di nagari Sunur, Pariaman. Sunur itu tetangga Ulakan, pusat tarekat Syatariyah di Sumbar. Saya pernah ke makam Syeh Burhanuddin di Ulakan.
Setamat SMA di Pariaman, Suryadi kuliah di Universitas Andalas, Padang. Ia pilih jurusan sastra daerah. Ia pun tertarik pada lowongan pekerjaan menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Ia melamar. Diterima.
Kini Suryadi sudah 20 tahun di Belanda. Sambil mengajar ia terus kuliah. Kini sudah doktor. Disertasinya sudah diterbitkan oleh penerbit Malaysia. Yakni, Institute of Ethnic Studies, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2020. Judul buku itu: Audible Locality.
Baca Juga:Antara Sensasi dan Nilai SeniEnam Desa Jadi Lokus Program Inklusi Aisyiyah
Bahwa namanya hanya satu kata, Suryadi, dan mirip nama orang Jawa, itu terkait pemberontakan PRRI di Sumbar. Anak-anak yang lahir di zaman itu banyak diberi nama Jawa. Untuk keselamatan masa depan. Agar tidak dikait-kaitkan dengan pemberontakan.
Dari dokumen yang ia temukan, Semen Padang itu, dimiliki oleh 10 orang pemegang saham. Semuanya orang Amsterdam, kecuali satu orang yang tinggal di Padang. Dari sembilan orang Amsterdam itu salah satunya pengusaha besar di bidang perdagangan. Nama perusahaannya: Firma Gebroeders Veth. Perusahaan ini punya dua cabang di Timur Jauh, yakni di Padang dan Makassar.
Gebroeders Veth dimiliki tiga bersaudara, memegang 325 lembar saham.
Ada dua orang yang sahamnya sama dengan Gebroeders. Tapi ada satu orang lagi yang paling besar: 400 lembar saham. Orang Amsterdam. Namanya: Engelbertus van Essen. Ia seorang pialang saham di Belanda dan Eropa.
Dari 10 pemegang saham itu ada satu yang harus diingat: Christopher Lau. Sahamnya 150 lembar. Tapi orang inilah yang menjadi inisiator pendirian pabrik Semen Padang.
Lau seorang insinyur. Tinggalnya di Padang. Lau-lah yang menemukan bahan baku untuk pabrik semen di Indarung, dekat Padang itu.
Insinyur itu lantas menggalang dana di Amsterdam. Ia mencari investor yang berminat. Ia perlu modal besar untuk membangun pabrik semen.
Rupanya Belanda menaruh perhatian besar pada kekayaan alam Sumatera Tengah. Terutama sejak ditemukannya batu bara di Ombilin, Sawahlunto. Tahun 1880. Itulah tambang batu bara pertama di Indonesia.