Antara Sensasi dan Nilai Seni

Batik Moderasi Beragama
Gambar desain baju dinas batik moderasi beragama yang beredar di media sosial.
0 Komentar

TASIK, RADSIK – Pandangan simbol semua agama yang disatukan pada seragam batik moderasi beragama untuk pegawai di Kementerian Agama (Kemenag) tampaknya cukup variatif. Disamping ada yang keberatan, ada juga yang menilai sebuah kewajaran.

Aktivis Islam Tasikmalaya Ustaz Iri menilai bahwa Kemenag sedang mencari sensasi. Sayangnya caranya dinilai kurang elegan karena justru memicu kegaduhan. ”Kalau saya bilang ini sensasi yang murahan,” ujarnya kepada Radar, Selasa (25/10/2022).

Pasalnya, menurut dia, tidak perlu ada penggabungan simbol jika ingin mempersatukan umat beragama. Dia menganalogikan seragam KPU atau pakaian kepresidenan yang lebih menggunakan simbol umum seperti merah putih dan garuda. ”Kalau begitu KPU dan Presiden lebih baik pakai batik yang gambarnya semua logo parpol sebagai simbol kebersamaan,” ucapnya.

Baca Juga:Enam Desa Jadi Lokus Program Inklusi AisyiyahPuskesmas Gelar Kelas Ibu Hamil

[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]

Belum lagi pandangan secara agama yang disebutkan oleh para ulama. Dia menjadi khawatir ini menjadi upaya pemersatu yang salah kaprah karena memaksa memadukan semua agama. ”Jangan-jangan nanti tempat ibadah juga dugabungkan,” katanya.

Kebersamaan antar-umat beragama, menurut dia, harus lebih diperkuat dengan sikap dan perilaku, bukan simbol. Karena dalam Islam pun Rasulullah saw hidup berdampingan dengan warga yang berbeda keyakinan. ”Di kita ulama bisa duduk berkumpul dengan tokoh-tokoh agama lainnya, jadi tidak perlu ada simbol yang hanya sensasi murahan,” tuturnya.

Berbeda dengan pandangan dari kacamata seni dan budaya, pemaduan simbol semua agama pada batik cenderung tidak masalah.

Seperti diutarakan budayawan Tasikmalaya Tatang Pahat yang setuju dengan dipadukannya simbol semua agama. Hal itu menunjukkan nilai kesatuan antar-umat beragama. ”Menurut saya itu sah-sah saja, sebagai simbol kebersamaan antar-umat beragama,” ucapnya.

Apalagi simbol ini sebatas gambar. Tidak ada paksaan untuk mengubah aki­dah. Karena jika nilai dan kebu­dayaan dalam diri sudah kuat, apalah arti dari simbol yang hanya sebuah tanda. ”Kalau akidahnya kuat, tidak akan terpengaruh kan,” tuturnya.

Jika dikaitkan dengan syariat, menurut dia, baju koko pun pada dasarnya merupakan pakaian Cina yang mayoritas bukan muslim. Namun saat ini malah sering dipakai untuk beribadah bahkan dikaitkan dengan busana muslim. ”Jadi pada dasarnya tidak ada masalah mau pakaian dengan model atau simbol apapun,” katanya.

0 Komentar