TASIK, RADSIK – Konsep moderasi beragama secara prinsip memang bisa mempersatukan. Namun jika sudah menjurus pada penggunaan simbol, hal itu sudah masuk ranah sensitif.
Begitu juga dengan model batik moderasi beragama yang rencananya akan diterapkan di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) RI. Dari model dan desain yang beredar, hal itu menuai perspektif yang negatif.
Sekretaris Perkumpulan Guru Madrasah (PGM) Kota Tasikmalaya Arip Ripandi mengaku sepakat dengan toleransi antara umat beragama. Hal itu sudah diterapkan di dunia pendidikan sejak dulu sebagaimana pembelajaran tenggang rasa. ”Kami juga sepakat dengan toleransi dan kerukunan antarumat beragama,” ujarnya kepada Radar, Senin (24/10/2022).
Baca Juga:Dari Li ke LiGeologi Tinjau Calon WPR Baru
[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]
Namun ketika sudah menerapkan simbol semua agama di satu pakaian atau seragam, hal itu lain cerita. Apalagi jika seragam itu wajib dipakai oleh aparat sipil negara (ASN) di lingkungan Kemenag. ”Itu kan akan ditafsirkan berbeda-beda,” tuturnya.
Tafsir yang berbeda-beda itu dikhawatirkan akan memicu konflik. Karena ketika pegawai tidak keberatan pun, ada potensi interaksi negatif dengan orang-orang atau pegawai yang tidak sepakat dengan simbol itu. ”Kan malah bisa menimbulkan polemik,” katanya.
Menurut dia, untuk membangun moderasi agama yakni melalui penguatan ideologi. Supaya kerukunan umat beragama bisa semakin kuat secara perilaku dan pemikiran. ”Tidak harus ada simbol-simbol, perkuat saja semangat kerukunan beragamanya,” ucapnya.
Pengamat politik, sosial dan pemerintahan Tasikmalaya Asep M Tamam mendukung konsep moderasi agama. Apalagi hal itu sudah sangat populer di masyarakat. ”Saya juga sangat setuju dengan konsep itu,” katanya.
Menurut dia, konsep moderasi agama bisa mencegah perpecahan umat beragama. Di mana masing-masing bisa berjalan berdampingan tanpa saling menjatuhkan. ”Yang terlalu kiri ditarik agak ke tengah, begitu juga yang terlalu kanan,” tuturnya.
Adapun mengenai batik moderasi agama, Asep Tamam menilai hal itu salah satu upaya Kemenag untuk lebih menyosialisasikan moderasi agama. Di mana hal yang kontroversial bisa lebih mudah tersosialisasikan. ”Tapi pada dasarnya moderasi agama sudah cukup dikenal masyarakat, tidak perlu melalui cara yang menimbulkan pro-kontra,” ucapnya.