Dari kacamata umum pun, menurut dia, model batik itu akan memunculkan tafsir berbeda-beda. Khawatirnya keharmonisan umat beragama yang sudah terbangun malah jadi tidak baik. ”Tafsir masyarakat kan berbeda-beda, dari mulai posisi dari atas ke bawah saja bisa jadi konflik,” tuturnya.
Jika memang menggambarkan keberagaman dalam seragam atau pakaian batik, menurut dia, bisa menggunakan simbol yang universal. Seperti halnya ikon atau lambang negara yang jelas merupakan pemersatu. ”Lambang Garuda juga sudah menunjukkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang mempersatukan semua pemeluk agama,” katanya.
Tokoh ulama Tasikmalaya lainnya Ustaz Yan Yan Albayani juga tidak setuju simbol ibadah nonmuslim harus umat muslim pakai. Toleransi, menurut dia, cukup dengan sikap dan perilaku. ”Saling menghormati dan menghargai sesama warga walau berbeda agama,” ucapnya.
Baca Juga:Muhammad Yusuf Diminta Ngegas Menjelang Pilkada Kota Tasikmalaya 2024Ramadan, Ibadah Tak Lagi Berjarak, Covid-19 Landai
Maka dari itu, pihaknya jelas menolak jika model batik moderasi beragama itu pemerintah terapkan. Pasalnya, tentunya kebijakan itu akan melibatkan pegawai yang beragama Islam. ”Kami menolak penggunaan batik yang bergambar simbol agama lain yang konon akan dipakai juga oleh pegawai muslim di institusi pemerintah,” tuturnya. (rga)