TASIK, RADSIK – Diterbitkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) RI Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama harus hadir menjadi solusi dan menciptakan rasa aman dan nyaman.
Kebijakan itu disambut baik oleh Ketua Perkumpulan Guru Madrasah (PGM) Kota Tasikmalaya Asep Rizal Asyari. Hal itu mengingat di beberapa daerah sempat terjadi kasus kekerasan atau pelecehan seksual di lembaga pendidikan. ”Kita menyambut baik dengan adanya regulasi ini,” ujarnya kepada Radar, Selasa (18/10/2022).
Menurut Rizal, sebelum ada regulasi pun upaya pencegahan sudah dilakukan di masing-masing lembaga pendidikan. Namun dengan adanya PMA ini tentunya akan menguatkan langkah-langkah yang dilakukan. ”Jadi ada penguat secara regulasi,” ucapnya.
Baca Juga:Ajudan Sekda Masuk IslamTulisan Pendek
[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]
Kementerian Agama (Kemenag) di daerah khususnya Kota Tasikmalaya harus segera menyosialisasikan kebijakan itu ke madrasah-madrasah. Supaya menjadi pengingat agar tidak ada oknum yang melakukan pelecehan seksual. ”Karena objeknya kan di satuan pendidikan, jadi harus tersosialisasikan,” tuturnya.
Selain itu, perlu juga ada satuan tugas (satgas) khusus untuk menindaklanjuti temuan atau laporan. Dengan demikian, ketika ada kasus muncul, tidak perlu lagi mencari-cari siapa yang harus bergerak. ”Mudah-mudahan tidak terjadi, tetapi kalau ada satgas akan lebih efektif,” katanya.
Wawancara terpisah, psikolog Tasikmalaya Rikha Surtika Dewi MPsi juga mengapresiasi diterbitkannya PMA No 73 Tahun 2022. Regulasi itu menjadi salah satu alat yang bisa mencegah kekerasan dan pelecehan seksual yang bisa terjadi di mana saja. ”Termasuk di lingkungan lembaga pendidikan, kasusnya kan bukan satu kali dua kali,” ucapnya.
Kendati demikian, ada dua sisi dampak secara psikologis juga dengan munculnya regulasi tersebut. Di satu sisi lingkungan lebih terasa aman karena potensi pelecehan seksual bisa lebih diminimalisir. ”Oknum kan jadi berpikir seribu kali, karena pekerjaan atau profesinya menjadi taruhan,” katanya.
Namun di sisi lain regulasi itu bisa menimbulkan kekakuan dalam aktivitas belajar mengajar. Karena disebutkan ”siulan” sampai ”tatapan” masuk dalam indikasi pelecehan seksual. ”Karena ’siulan’ dan ’tatapan’ itu kan maknanya luas, bisa jadi guru enggan memandang muridnya karena takut dianggap pelecehan,” ucapnya.