Rasanya Mahsa lagi sial. Di Iran, sepengetahuan saya, aturan kerudung itu tidak terlalu ketat. Tidak seperti di Arab Saudi.
Memang, yang terbanyak, wanita di sana pakai penutup kepala. Tapi bukan jilbab. Kerudung mereka memang menutupi kepala tapi masih memperlihatkan sedikit rambut di bagian depan. Hanya sedikit lebih rapat dari cara Mbak Yenny Wahid berkerudung.
Wanita pakai burkah (penutup seluruh tubuh, pun wajah) hanya lebih banyak di kota Qom. Yakni kota yang dianggap suci di Iran. Di kota inilah kepemimpinan spiritual Iran berpusat.
Baca Juga:Benteng di Pinggir Jalan Tuai KritikBanjir Bunisari Mulai Surut
Enam bulan lalu saya juga melihat video yang diambil orang Jakarta yang lagi tinggal di kota Shiraz. Ia lagi menunggu keluarga yang transplant hati di rumah sakit di situ. Ia ke mal di kota itu. Diam-diam ia membuat video candid. Tidak diatur-atur. Terlihat di situ banyak wanita tidak berpenutup kepala. Ada juga yang berkerudung tapi celananya jean yang ketat.
Maka sial benar Mahsa terkena razia. Padahal razia seperti itu tidak selalu ada.
Atau dia memang sengaja memprotes aturan itu.
Dan siapa tahu yang merazia hari itu juga lagi mengincar Mahsa.
Mahsa itu triple-minoritas. Dia wanita di tengah kekuasaan laki-laki di Iran. Dia suku Kurdi di teÂngah mayoritas suku Parsi. Dia dari kota yang terbanyak penduduk superÂminoritas Yahudinya: kota Saqiz.
Kota Saqiz hampir di perbatasan Iran dan Iraq. Jauh di bagian utara. Wilayah perbatasan itu, di sisi Iran dihuni oleh suku Kurdi. Di sisi Iraq juga suku Kurdi. Wilayah Kurdi ini masih nyambung ke sisi Turki yang di perbatasan. Kurdi di tiga negara itu punya misi yang sama: ingin mendirikan negara Kurdi yang terpisah dari Iran, Iraq dan Turki.
Kota Saqiz sangat indah. Bukitnya, lembahnya, sungainya, danaunya jalin menjalin di ketinggian 1.400 meter. Salah satu ancaman yang dianggap bisa mengganggu Iran dan Iraq dan Turki datang dari kawasan itu.
Tapi meninggalnya Mahsa melampaui semua identitas itu. Isu wanita, isu jilbab, dan isu demokrasi menjadi sangat universal. Globalisasi, majunya teknologi informasi dan kesulitan ekonomi akibat blokade Amerika membuat dukungan pada Mahsa sangat besar. Protes pun meluas. Ke banyak kota. Mahsa dianggap sebagai martir gerakan perempuan. Termasuk dari putri mantan Presiden Iran Hashemi Rafsanjani. Ia Ayatollah intelektual. Ia tangan kanan Ayatollah Khomeini. Rafsanjani memang tokoh yang menginginkan Iran menjadi negara moderat.