JAKARTA, RADSIK – Potensi kerugian akibat disharmoni kebijakan impor hortikultura terus meluas. Ombudsman RI (ORI) mencatat, para pengusaha importir yang terjebak aturan itu diperkirakan menanggung potensi kerugian lebih dari Rp 100 miliar per Senin (19/9/2022). Selain harus menanggung biaya listrik dan demurrage (overtime) di pelabuhan, potensi itu muncul akibat turunnya nilai barang.
[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]
ORI mencatat ada lebih dari 400 kontainer yang terdampak disharmoni aturan impor. Ratusan peti kemas itu tersebar di Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Belawan. Jumlah tersebut bertambah dua kali lipat dibanding laporan pekan lalu. ”Yang menanggung kerugian ini jelas pengusaha,” kata anggota ORI Yeka Hendra Fatika saat sidak di Pelabuhan Tanjung Priok kemarin.
Baca Juga:Politeknik LP3I Membumi Melalui PKMSiapa Pj Wali Kota?
Pekan lalu ORI menerima laporan dari para importir terkait produk impor hortikultura yang tertahan akibat tidak memiliki dokumen rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH). Barang yang ditahan Badan Karantina Pertanian itu, antara lain, anggur, kelengkeng, lemon, cabai kering dan jeruk mandarin.
Hasil pemeriksaan ORI, penahanan itu terjadi akibat disharmoni aturan di pihak Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Pertanian (Kementan). Para importir tersebut mengaku sudah mendapat surat persetujuan impor (SPI) dari Kemendag tanpa mensyaratkan RIPH. Sementara itu, Karantina Pertanian di bawah Kementan menerapkan syarat RIPH ketika impor hortikultura tiba di pelabuhan.
Di sisi lain, Kepala Karantina Pertanian Tanjung Priok Hasrul mengakui pihaknya tidak bisa berbuat banyak lantaran hanya sebagai petugas operasional. ”Kami serahkan sepenuhnya ke pusat (Kementan, Red) karena pusat yang membuat regulasi,” terangnya. (jpc)
Belum berlangganan Epaper? Silakan klik Daftar!