Di kehidupan pondok cukur mandiri itu biasa. Santri saling mencukur rambut temannya. Anang termasuk yang pandai mencukur. Disenangi banyak santri. Cukurannya baik. Dan cepat.
Di Yogyakarta Anang juga pernah menjadi buruh bangunan. Tukang cukur merangkap buruh bangunan. Yang penting ia bisa makan dan halal.
Dari Yogyakarta ia pindah ke Surabaya. Tinggal bersama teman di belakang kampus IAIN Sunan Ampel. Ia jadi cleaning service. Kerja serabutan. Sesekali menulis artikel untuk media. Zaman itu menulis di media mendapat honorarium.
Baca Juga:Situ Gede Telan Anak NongkrongRachmat Irianto Makin Termotivasi
Anang akhirnya pulang ke Lumajang. Ke desa Senduro. Ibunya mulai tua. Ketika umur Anang sudah 34 tahun ia menyerah kepada Sang ibu: minta dicarikan istri. Siapa saja. Asal pilihan ibu.
Saat kawin Anang belum punya pekerjaan tetap. Sambil menemani sang ibu ia mengurus PKB tingkat kecamatan. Lalu jadi pengurus tingkat kabupaten. Akhirnya jadi ketua cabang. Ikut nyaleg. Berhasil.
Meski perjuangannya dari bawah Anang sama sekali tidak merasa kehilangan ketika minta berhenti sebagai ketua DPRD.
Demikian juga ibunda dan istrinya. ”Ibu dan istri setuju saya berhenti dari jabatan ketua DPRD,” katanya.
Berarti Anang tidak akan punya kendaraan dinas lagi. Itu juga tidak apa-apa. Selama ini ia punya mobil. Sederhana. Suzuki Ertiga.
Siapa yang mengharuskan hafal Pancasila itu? Bukankah cukup mengerti isinya—ketuhanan, kebangsaan, persatuan, musyawarah, keadilan?
Bukankah Bung Karno, si penggali Pancasila mengatakan Pancasila itu bisa diringkas menjadi Trisila? Lalu diringkas lagi menjadi Ekasila, yakni Gotong Royong?
Baca Juga:Ikuti Senam Disway, Raih Peluang ke BaliPenerima BLT Harus Vaksin Covid-19
Penting mana hafal Pancasila di mulut tapi bertolak belakang di perbuatannya? Dibanding sebaliknya? Bukankah yang lebih penting menjalankannya? Untuk apa hafal ndakik-ndakik tapi hanya di lahirnya saja?
Bagi Anang dua-duanya penting. Kelihatannya.
Bambang Sulistomo bisa mewakili semua perasaan itu. Anak Bung Tomo ini kirim tanggapan ke Disway.
”Kita terharu sekaligus bangga dengan wakil rakyat satu ini. Jujur. Tidak munafik,” kata Bambang. ”Bandingkan dengan para pemimpin yang lebih hafal dan lebih keras teriak Pancasila tapi penuh dengan kemunafikan dalam kebijakan dan tindakan mereka”.