Oleh: Andri Nurjaman, M. Hum, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Nahdlatul Ulama pernah berada di puncak kesuksesan dalam dunia politik secara nasional pada masa Presiden Soekarno (1959-1965), khususnya masa-masa yang dianggap paling sulit. Dengan kecerdasan strategi politik yang dimainkan oleh NU, Partai Islam Tradisional tersebut bisa menari di atas irama politik Bung Karno.
Pada awalnya Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi Islam yang dibentuk oleh Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari pada 1926 yang berfokus pada dunia dakwah, sosial dan pendidikan. Namun sejak tahun 1952, NU memilih untuk menjadi sebuah partai politik. Hal ini tidak terlalu aneh, karena latar belakang historis memang NU lahir dari realita politik, ditambah dengan pernah bergabungnya NU di MIAI (1937) dan Masyumi (1945). NU sebagai salah satu partai politik Islam ini berakhir pada kembalinya NU ke khittah 1926 dalam Munas NU tahun 1983 di Situbondo.
Baca Juga:Karnaval Membentuk Profil Pelajar PancasilaTerus Berupaya Bangkitkan Ekonomi
Partai Nahdlatul Ulama ini berhasil menyesuaikan diri dengan sistem demokrasi baru yang dibuat oleh Presiden Soekarno, yaitu sistem demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin adalah sebuah fase kehidupan politik yang terpusat pada tangan Presiden Soekarno sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sejarah ini menarik untuk dilihat kembali sebagai bahan pijakan dan cerminan bagi generasi saat ini khususnya warga nahdliyin yang aktif di dunia politik, apalagi dua tahun lagi masyarakat Indonesia akan menyelenggarakan hajat besar demokrasi lima tahunan, maka membaca sejarah keberhasilan NU di dunia politik sangatlah dibutuhkan.
Pada masa penerapan sistem demokrasi terpimpin, di dunia politik saat itu ada dua partai politik yang mewakili umat Islam yaitu Partai Masyumi dan Partai NU, namun dalam menghadapi sistem baru politik Soekarno dengan demokrasi terpimpimnya, strategi politik yang digunakan dua parpol Islam itu berbeda.
Partai Masyumi misalnya, menolak dengan keras sistem demokrasi terpimpin karena tidak sesuai dengan semangat demokrasi dan dianggap telah memilih jalan kediktatoran, penolakan keras Masyumi ini mengakibatkan dirinya harus dibubarkan oleh Presiden Soekarno, ditambah dengan beberapa kader Masyumi yang turut melakukan pemberontakan dalam PRRI-PERMESTA.