PANGANDARAN, RADSIK – Sebuah komunitas adat dan budaya Kabupaten Pangandaran rutin menggelar Maca Sajarah Kacijulangan setiap memasuki bulan Muharam.
Selain Muharam atau sura, membaca sejarah Kacijulangan juga rutin dilakukan pada bulan Mulud.
Ketua Lembaga Adat Kabupaten Pangandaran Erik Krisna Yudha Astrawijaya Saputra mengatakan pembacaan rutin tersebut sudah dilaksanakan pada Selasa (9/8). ”Tepatnya di area Wareng Bandara Nusawiru,” katanya saat menghubungi Radar, Kamis (11/8/2022).
Baca Juga:Dilarang Pungut RetribusiWaswas Pasokan Obat Distop
[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]
Menurut dia, tradisi tersebut hampir punah lantaran minimnya pelaku pembaca kitab kacijulangan. Untuk itu Erik mempertahankan agar tradisi kuno tersebut tetap lestari. ”Pembacaan tradisi kuno membaca kitab ejarah Kacijulangan biasa dilakukan pada Muharam dan Mulud, supaya tetap lestari maka kami dilakukan secara utin per tahun,” tuturnya.
Pembacaan sejarah Kacijulangan tidak sembarang dibacakan dan mempunyai ketentuan tersendiri. Di antaranya harus berdasarkan perhitungan sunda kuno dan hanya boleh dibacakan pada waktu tertentu. ”Isinya adalah sejarah purwaningjagat atau sejarah penciptaan alam semesta dan ajaran ketauhidan juga perilaku manusia untuk mengenal para pendahulu supaya manusia bisa mengenal dirinya dan penciptanya,” ujarnya.
Dalam sejarah ini ada dua bagian terpenting, yakni sejarah geude (besar) dan sejarah leutik (kecil). ”Sejarah geude menerangkan proses terciptanya alam dan sejarah leutik menerangkan proses kehidupan manusia,” ucapnya.
Untuk melaksanakan pembacaan sejarah Kacijulangan harus dilakukan oleh orang yang sudah memiliki keimanan. ”Tentunya juga ketauhidan yang sempurna, lantaran dikhawatirkan ada perbedaan penafsiran,” ujarnya.
Salah satu pelaku budaya Cijulang Dede Suhendar mengatakan, kaitab Kacijulangan membeberkan bagaimana terbentuknya peradaban di Kabupaten Pangandaran, khususnya di Cijulang. ”Bagaimana silsilah dan purwadaksi masyarakat Cijulang dijelaskan secara tutur,” ucapnya.
Dia mengatakan tradisi itu harus dilestarikan. Jangan sampai terputus di generasi selanjutnya. ”Ini termasuk budaya, jangan punah,” katanya. (den)
[/membersonly]
Belum berlangganan Epaper? Silakan klik Daftar!