BANJAR, RADSIK – Minyak goreng (migor) curah, yang sempat langka dan mahal kini mulai berangsur stabil. Harganya pun sesuai harga eceran tertinggi (HET).
Salah satu penjual minyak goreng H Ade mengatakan distribusi atau pengiriman minyak curah di kiosnya mulai berangsur normal. “Ya itu setelah ada perubahan kebijakan dari pemerintah,” kata dia kepada wartawan, Jumat (8/4/2022).
Diakuinya, saat terjadi kelangkaan minyak goreng, dirinya sempat tidak mendapat jatah pengiriman minyak goreng curah selama tiga minggu. Padahal biasanya pengiriman minyak goreng curah bisa sampai tiga kali dalam seminggu. “Sekarang saya bisa menerima 5 ton lebih, bahkan kalau banyak bisa mencapai 13 ton,” jelasnya.
Baca Juga:Digagas Jadi Rumah Sakit PariwisataPolisi Bubarkan Balap Liar
[membersonly display=”Baca selengkapnya” linkto=”https://radartasik.id/masuk” linktext=”disini”]
Menurut dia, banyaknya stok minyak goreng curah tentu menguntungkan konsumen, sehingga tidak ada lagi pembatasan pembelian. “Karena stok sudah banyak, tidak ada lagi pembatasan dalam pembelian minyak goreng curah,” ucapnya. Berbeda sebelumnya, sempat dibatasi 20 kg untuk satu konsumen.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) memberikan tanggapan atas fenomena minyak goreng curah yang masih mahal dan langka itu. Mereka merekomendasikan agar pemerintah mengembalikan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) untuk migor.
Hal itu, diharapkan bisa mengatasi kelangkaan minyak goreng yang menjadi salah satu bahan pokok penting (bapokting) yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan rincian, HET minyak goreng curah sebesar Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan kemasan premium sebesar Rp 14.000 per liter.
“Rekomendasi itu, sudah kami hitung berdasar harga pokok produksi dan keekonomiannya dengan mempertimbangkan input produksi yang digunakan dalam memproduksi minyak goreng sawit,” ujar Rizal E Halim, selaku Kepala BPKN, dalam konferensi pers secara virtual, Kamis 7 April 2022.
BPKN juga meminta agar dilakukan pengawasan dan pemberian sanksi yang tegas dengan melibatkan kepolisian, satgas pangan dan kementerian terkait untuk mengawasi proses kebijakan tersebut dari hulu ke hilir.
Menurut dia, pengawasan harus dilakukan mulai dari produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, produksi CPO, produksi minyak goreng, hingga proses pendistribusian.