Petani, Nilai Tukar Petani, dan Kesejahteraan Petani

Petani, Nilai Tukar Petani, dan Kesejahteraan Petani
0 Komentar

Oleh: Mia Wastuti, S.Sos., M.Sc., M.Eng
Pekerja Sosial dan Direktur Galunggung Center for Research and Concultancy

MENGUKUR kesejahteraan pada sektor pertanian dilakukan indeks Nilai Tukar Petani (NTP). NTP adalah perbandingan Indeks Harga Diterima Petani (IT) dengan Indeks Harga Dibayar Petani (IB). IT adalah penghasilan petani yang didapat dari kegiatan pengolahan lahan pertanian (sawah, kebun, ikan, ternak) dan IB adalah biaya hidup yang harus dikeluarkan, baik biaya untuk kebutuhan proses produksi maupun biaya hidup sehari-hari. Semakin tinggi angka NTP maka ini berarti semakin kuat kemampuan daya beli petani.

NTP sangat dipengaruhi oleh produktivitas dan nilai jual produk hasil pertanian. NTP Jawa Barat pada bulan September 2022 mengalami kenaikan sebesar 0,24 persen dibandingkan Agustus 2022, dari 100,22 menjadi 100,46. Artinya, menurut Biro Pusat Statistik yang merilis data ini, kemampuan daya beli petani naik dari sebelumnya dan telah mampu memenuhi kebutuhan hidup dasar. Tentu ini berita positif yang harus kita syukuri.

Baca Juga:OPD Baru Segera DibentukWaspada, Jalan Perintis Berlubang

Ada beberapa hal yang mempengaruhi kenaikan NTP yang luput dari penghitungan, di antaranya kebijakan pemerintah memberikan kartu tani bagi para petani yang memungkinkan petani membeli pupuk dengan harga yang disubsidi menurunkan biaya produksi. Di sisi lain pemberian bantuan sosial, baik bantuan pangan non tunai, bansos Program Keluarga Harapan, pemberian bantuan iuran kesehatan BPJS jelas menurunkan biaya yang harus dibayar petani. Komponen bantuan yang meringankan pengeluaran petani bermuara pada peningkatan nilai tukar petani.

[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]

Di sisi lain, sebagaimana disampaikan Slamet (2007:18-19) yang menegaskan bahwa petani asli adalah petani yang memiliki tanah sendiri, bukan penyakap maupun penyewa. Petani asli misalnya, punya lahan sendiri, dikerjakan sendiri. Kalau yang palsu hanya sekadar ketengan, misalnya menggarap dengan sistem bagi hasil atau menyewa secara periodik, tahunan atau per musim tanam. Pengukuran NTP ini tidak membedakan petani asli atau petani tidak asli.

Petani “tidak asli” terdiri dari penyewa (berdasarkan periode tahunan atau musim tanam), petani penggarap (menggarap petakan sawah yang berbagi hasil panen dengan perjanjian tertentu dengan pemiliknya), ataupun buruh tani.

0 Komentar