BAMAG Kota Tasikmalaya Soroti Siswa Kristen di Sekolah Negeri Belum Dapat Pelajaran Agama

bamag kota tasikmalaya
Ketua BAMAG Kota Tasikmalaya, Pdt Munanda Bernhard mengungkapkan aspirasiyadalam di forum refleksi HUT Kota Tasikmalaya, Jumat (31/10/2025). (Ayu Sabrina/radartasik.id)
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Beragam ide dan pandangan muncul pada malam refleksi hari jadi ke-24 Kota Tasikmalaya di Aula Bappelitbangda, Jumat (31/10/2025). Salah satunya mengenai pendidikan agama kristen yang belum masuk dalam mata pelajaran di sekolah negeri.

Hal itu diutarakan oleh Ketua Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG) Kota Tasikmalaya, Pdt. Munanda Bernhard yang mengapresiasi jargon Santun (Selalu ada, Nyaman, Tulus dan Unggul). Dia percaya jargon tersebut bukan hanya sebatas formalitas atau sekadar kata-kata saja.

“Saya percaya, sebagaimana simbol atau jargon yang disampaikan Pak Wali Kota, bahwa Santun bukan hanya slogan,” ucap Munanda di hadapan Wali Kota Tasikmalaya, Viman Alfarizi Ramadhan, dan Wakil Wali Kota, Raden Diky Candra.

Baca Juga:Soal Pinjaman Pemkab Tasik Rp 230 M, Hj Nurhayati Effendi: Hati-Hati Terpeleset!Warga Sinagar Kabupaten Tasikmalaya Gelar Doa Bersama untuk Endang Juta

Namun di samping itu, dia mengemukakan soal hak-hak siswa kristen di sekolah negeri yang belum mendapatkan pendidikan agama sesuai keyakinannya. Menurutnya hal tersebut merupakan persoalan yang telah lama dibiarkan tanpa penyelesaian.

“Namun, masih ada pekerjaan rumah pemerintah yang belum tersentuh, yakni kehadiran anak-anak kami di sekolah negeri yang belum mendapatkan pelajaran pendidikan agama Kristen,” sambungnya.

Menurutnya, persoalan ini telah berlangsung bertahun-tahun tanpa solusi yang memadai. Ia mencatat, ada lebih dari 300 siswa Kristen di tingkat SMP dan SMA negeri di Kota Tasikmalaya yang hingga kini belum mendapatkan pelajaran agama Kristen secara resmi. Kekosongan itu akhirnya diisi secara swadaya oleh BAMAG bersama para jemaat.

“Selama ini kami dari BAMAG yang berupaya mengelola. Kami undang guru-guru yang punya kapasitas dan pengabdian, tapi semua masih kami kelola secara mandiri,” ujarnya.

Munanda menegaskan bahwa langkah itu dilakukan semata untuk memastikan anak-anak tetap mendapatkan hak pendidikan agama yang dijamin undang-undang, meski tanpa dukungan penuh dari sistem pendidikan formal. Ia kemudian mengingatkan, kondisi seperti ini bukan hal baru.

“Sekitar 18 tahun lalu pun persoalan ini belum tersentuh,” katanya.

Artinya, dua generasi pelajar telah mengalami kesulitan yang sama: harus belajar agama di luar jam sekolah, di tempat yang jauh dari ruang belajar mereka. Munanda juga menuturkan bagaimana para siswa kerap berpacu dengan waktu.

0 Komentar